Friday 16 November 2018

AHLUS SUNNAH MENETAPKAN ISTIWA’ (BERSEMAYAM)

 
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
 
Termasuk iman kepada Allah adalah iman kepada apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an yang telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam serta yang telah disepakati oleh generasi pertama dari ummat ini (para Sahabat Radhiyallahu anhum) bahwa Allah Subhanahu wa Taala berada di atas semua langit[1], bersemayam di atas Arsy[3], Mahatinggi di atas segala makhluk-Nya, Allah tetap bersama mereka dimana saja mereka berada, yaitu Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
 
ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
 
"Lalu Dia bersemayam di atas Arsy." [Al-Araaf: 54]
 
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "…Pandangan yang kami ikuti berkenaan dengan masalah ini adalah pandangan Salafush Shalih seperti Imam Malik, al-Auzai, ats-Tsauri, al-Laits bin Saad, Imam asy-Syafii, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Imam-Imam lainnya sejak dahulu hingga sekarang, yaitu mem-biarkannya seperti apa adanya, tanpa takyif (mempersoalkan kaifiyahnya/hakikatnya), tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa tathil (penolakan). Dan setiap makna zhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut faham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut sangat jauh dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah yang menyerupai-Nya. Seperti yang difirmankan-Nya:
 
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
 
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[Asy-Syuuraa: 11]
 
Tetapi persoalannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para Imam, di antaranya adalah Nuaim bin Hammad al-Khuzai -guru Imam al-Bukhari-, ia mengatakan: Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang mengingkari sifat yang telah Allah berikan untuk Diri-Nya sendiri, berarti ia juga telah kafir.Tidaklah apa-apa yang telah disifatkan Allah bagi Diri-Nya sendiri dan oleh Rasul-Nya merupakan suatu bentuk penyerupaan. Barangsiapa yang menetapkan bagi Allah Azza wa Jalla setiap apa yang disebutkan pada ayat-ayat Al-Qur-an yang jelas dan hadits-hadits yang shahih, dengan pengertian yang sesuai dengan kebesaran Allah, serta menafikan segala kekurangan dari Diri-Nya, berarti ia telah me-nempuh jalan hidayah (petunjuk)." [3]
 
Firman Allah al-Aziiz:
 
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
 
"(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy." [Thaahaa: 5]
 
Ketika Imam Malik (wafat th. 179 H) rahimahullah ditanya tentang istiwaAllah, maka beliau menjawab:
 
َاْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا أَرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ.
 
"Istiwa-nya Allah malum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bidah, dan aku tidak melihatmu kecuali da-lam kesesatan."
 
Kemudian Imam Malik rahimahullah menyuruh orang tersebut pergi dari majelisnya.[4]
 
Imam Abu Hanifah (hidup pada tahun 80-150 H) rahimahullah berkata:
 
مَنْ اَنْكَرَ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي السَّمَاءِ فَقَدْ كَفَرَ.
 
"Barangsiapa yang mengingkari bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas langit, maka ia telah kafir." [5]
 
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafii, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Dalil-dalil Allah berada di atas langit: QS. Al-Mulk: 16-17, al-Anaam: 18, 61, an-Nahl: 50, al-Mumin: 36-37 dan Faathir: 10.
[2]. Dalil-dalil tentang IstiwaAllah di atas Arsy-Nya disebut di tujuh tempat: QS. Al-Araaf: 54, Yunus: 3, ar-Rad: 2, Thaahaa: 5, al-Furqaan: 59, as-Sajdah: 4 dan al-Hadiid: 4.
[3]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (II/246-247), cet. Daarus Salaam, th. 1413 H.
[4]. Lihat Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi (I/171), Mukhtasharul Uluw lil Imaam adz-Dzahabi (hal. 141), cet. Al-Maktab al-Islami, tahqiq Syaikh al-Albani.
[5]. Lihat Mukhtashar al-Uluw lil Aliyyil Ghaffaar (hal. 137, no. 119) tahqiq Syaikh al-Albani dan Syarhul Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 386-387) takhrij dan taliq Syuaib al-Arnauth dan Abdullah bin Abdil Muhsin at-Turki.

No comments:

Post a Comment